DASAR-DASAR
TEORI STUDI AGAMA
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Metode Dan Pendekatan Kajian Islam
Dosen Pengampu :
Dr. KH. Kharisudin Aqib, M. Ag
Oleh :
Muhammad Amrillah
REVISI MAKALAH
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA
ISLAM TRIBAKTI
JANUARI
2013
TEORI DASAR STUDI ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibarat spektrum
cahaya, Islam itu terpancar menjadi beragam dimensi. Semua dimensi itu pada
hakikatnya adalah satu yaitu Islam. Tidak semua muslim mampu menangkap seluruh
dimensi yang dipancarkan oleh islam. Setiap muslim hanya mampu menangkap
dimensi dimensi tertentu, sesuai dengan kemampuan daya tangkap dan
visinya masing-masing. Studi Islam bukanlah tumbuh dan berkembang dari realitas
historis yang hampa, ia hadir secara kronoligis dalam konteks ruang dan waktu
yang jelas, hal ini terjadi sebagai respon sejarah atas sejumlah persoalan
keagamaan yang dialami umat Islam.
Selanjutnya
studi Islam juga merupakan bagian dari sebuah kajian keislaman dengan wilayah
telaah materi ajaran agama dan fenomena kehidupan beragama. Pendekatan yang
dilakukan biasanya melalui berbagai disiplin keilmuan, baik yang bersifat
dokrinal-normative maupun histories–empiris. Secara metodologis kedua
pendekatan tersebut merupakan elemen yang sangat penting dalam kajian keislaman
semisal pendekatan tentang Islam dalam konteks normative keagamaan yang harus
dijangkau oleh kaum muslimin dengan pendekatan tentang Islam yang merupakan
lapangan kajian.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
di atas maka dalam makalah ini akan disajikan beberapa pokok permasalahan yang
perlu diketahui dalam konteks kajian studi Islam, adapun pokok masalahnya
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pengertian Antroposenris?
2.
Bagaimana
pengertian Teosentris?
3.
Bagaimana Teori
ketuhanan?
4.
Bagaimana
pengertian Studi Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
ANTROPOSENTRIS
Antroposentris
yaitu teori yang menganggap bahwa manusia dalah pusat tata surya, dan teori ini
dipakai oleh manusia purba atau primitive. Anggapan ini dimulai pada tingkat
awal manusia atau pada masa manusia primitif yang menganggap bahwa manusia
sebagai pusat alam semesta. Pada waktu menyadari ada Bumi dan langit, manusia
menganggap matahari, bulan, bintang, dan Bumi serupa dengan hewan, tumbuhan, dan
dengan dirinya sendiri. Jagad raya adalah ruangan yang maha luas, yang tak
dapat diketahui atau dibayangkan luasnya. Jagad raya diduga bentuknya melengkung dan dalam keadaan
memuai serta terdiri atas galaksi- galaksi atau sistem-sistem bintang yang jumlahnya
ribuan
Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat
realitas transenden itu bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan
erat dengan masyarakat kosmos, baik yang natural maupun yang supra natural
dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos (alam semesta), unsur
supra natural dalam dirinya adalah merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia
sendiri adalah melepaskan unsur natural yang jahat.
Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus
kepribadian kemanusiaannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya.
Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia
karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya untuk membuang
semua hasrat dan keinginannya. Sementara ketakwaannya
lebih diorientasikan kepada praktek-praktek pertapaan dan konsep-konsep magis.
Tujuan hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya ke dalam realita
impersonalnya.
Anshari menganggap manusia yang berpandangan
antroposentris sebagai sufi adalah mereka yang berpandangan mistis (ghaib) dan
statis. Padahal manusia antroposentris itu sangat dinamis (bergerak maju),
karena menganggap hakikat realitas transenden yang bersifat intrakismos dan
impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya
itu berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana
yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah
(surga), sedangkan manusia yang memilih kejahatan maka ia akan memperoleh
kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan
mutlak tanpa campur tangan realitas transenden.
B.
PENGERTIAN
TEOSENTRIS
Teosentrisme berasal dari bahasa Yunani, theos, yang memiliki arti Tuhan, dan bahasa Ingris, center, yang berarti pusat. Pada konteks ini, teosentrime mengacu pada
pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait Ketuhanan secara moralitas
lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya. Singkatnya, teosentrisme lebih menekankan
tentang keberpusatan pada Tuhan dibandingkan pada manusia (anthroposentrisme).
Pada kajian yang lebih mendalam, teosentrisme berarti menegakan kejayaan
Tuhan dengan melakukan berbagai hal yang baik dan menghalau berbagai hal yang
buruk. Terkait hal ini, perspektif Kristiani serupa dengan Islam. Kitab suci
Quran menyatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk mengagungkan
dan menyembah Allah SWT, seperti yang dinyatakan pada surat Adh Dhariyat 51:56:
“dan tidak aku ciptakan
jinn dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” Menyembah, dalam kajian Islam, berarti mengakui
pada kesatuan dan kekuasaan Allah SWT. Kehidupan merupakan perjuangan yang
berkelanjutan antara kebajikan dan kejahatan. Sehingga, dalam memutuskan apa
yang dapat dilakukan dan harus ditinggalkan, Muslim seharusnya mengacu pada
tuntunan Quran dan Hadis. Keduanya merupakan pondasi dari hukum Islam atau
shari’a. Tujuan shari’a adalah untuk menjadi panduan dalam pencapaian kebaikan
dalam hidup, contohnya adalah keindahan karakter dan kehidupan, dan untuk
menghindari berbagai hal yang merusak dan buruk. Mereka yang bersungguh-sungguh
dan melakukan kebajikan akan dikaruniai dengan keabadian hidup di surga,
sementara mereka yang condong pada keburukan akan dihukum di neraka.
Sementara kajian Kristiani juga mengandung banyak afirmasi mengenai konsep
keberpusatan pada Tuhan dalam penciptaan manusia. Pada Yesaya 43:7, dikatakan:
“semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang kuciptakan untuk kemuliaan-Ku,
yang Kubentuk dan juga Kujadikan!” Dengan kata lain, tujuan akhir manusia di
dunia ini adalah untuk mengagungkan Tuhan. Perspektif teosentrisme bahwa Tuhan
meminta manusia untuk mengikuti hukum moralitas disajikan melalui uraian
“mencitai Tuhan kita dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa, dengan sepenuh tenaga,
dan dengan sepenuh pikiran.”
Inilah sejatinya keutamaan dari teosentrisme – dalam mencari
Tuhan dan mengagungkan-Nya di atas yang lainnya, manusia memenuhi tujuan dari
penciptaannya. Santo Agustine mengatakan, “Engkau telah menciptakan kamu untuk
diri-Mu, dan hati kami tidak tenang hingga mereka dapat beristirahat di
diri-Mu.” Sementara dari kajian Islam, Imam Gazali, mengelaborasi sikap
spiritual ketika ia menjelaskan pentingnya menumbuhkan taqwa dalam hati setiap
Muslim.
C.
TEORI KETUHANAN
1.
Deisme
Pertama saya tidak akan membahas arti dari kata Deisme secara etimologi
bahasa Yunani seperti umumnya tulisan orang lain. Kedua, yang jelas,
intinya yang dimaksud dengan deisme adalah sauatu faham kepercayaan kepada
Tuhan yang menciptakan alam semesta, tetapi terpisah dengan diri dan meyakini
bahwa alam semestalah yang mengatur dirinya. Karena buku rujukan yang saya
punya terbatas untuk menjelaskan tentang deisme, mungkin saya hanya akan
menulis tentang pemikiran W Leibniz dan Quentin Smith, yang saya pikir masuk
kategori deisme juga jika kita lihat pemikiran dari kedua tokoh tersebut.
Terutama teori Leibniz, “tentang Eksistensi Allah dalam Argumentasi
Kosmologis”, Baiklah kita mulai pembahasan dengan pemikiran Leibniz.
a.
Biografi dan
Karya Leibniz
Gottfried Wilhem von Leibniz lahir pada 1 Juli
1646 di kota Leipzig, Sachsen. Ayahnya, Friedrich Leibniz, menjabat sebagai
professor filsafat moral di Universitas Leipzig. Ibunya bernama CatharinaScmuck
adalah seorang ahli dari ahli hokum. Ayah Leibniz meninggal pada saat ia
berusia 6 tahun. Leibniz masuk Universitas Leipzig sebagai mahasiswa hukum,
pada tahun 1663 ia telah menyelesaikan program sarjananya. Dan pada tahun 1666
ia memperoleh gelar doktornya.
b. Eksistensi Alam Semesta
sebagai “Ada” yang Kontingen
Dalam argumentasi
kosmologinya, libniz menerima adanya penyebab mundur yang tidak terbatas. Ia
tidak tergantung pada permis penolakan suatu sebab mundur yang tak terbatas.
Selain itu, baginya dunia atau alam semesta adalah suatu keseluruhan yang
terdiri dari pengada-pengada yang bersifat kontingen. Rangkaian dari
pengada-pengada terhubung dengan kejadian-kejadian. Karena itu, dunia sebagai
suatu keseluruhanpun bersifat kontingen.
Bagi Leibniz, adanya suatu
eksistensi pengada selalu membutuhkan penjelasan dari eksistensinya. Dalam suatu rangkaian terjalin relasi kausalitas langsung antara pengada
yang lebih awal dan pengada yang seterusnya. Leibniz juga memberikan batasan
bagi pengada-pengada dalam suatu rangkaian untuk sampai pada penjelasan penuh
atas keberadaanya.
Lalu bagaimana menjelaskan
adanya suatu pengada yang menyebabkan seluruh pengada-pengada dapat ada, jika
segala yang ada adalah kontingen?. Jalan keluar yang diambil Leibniz adalah
bahwa pengada itu haruslah berada di luar rangkaian, karena setiap rangkaian
tidak dapat memberikan penjelasan pada dirinya sendiri. Adanya eksistensi ini
harus dijelaskan dalam suatu aktivitas kausal dari pengada di luar rangkaian
tersebut. Karena itu haruslah ada suatu pengada yang niscaya, yang oleh Leibniz
disebut sufficient reason. Setiap pengada harus memiliki prinsip ini
sebagai jaminan eksistensinya.
2.
Pantheisme
Istilah panenteisme telah
diperkenalkan pertama kali oleh filsuf idealis Jerman Karl Friedrich Christian
Krause (1781-1832). Panenteisme berasal dari kata Yunani pan berarti
semua, en berarti didalam dan theos yang
berarti Tuhan. Dengan demikian, berarti Semua berada di
dalam Tuhan (all-in-God).Istilah ini merujuk kepada sebuah sistem kepercayaan yang beranggapan bahwa
dunia semesta berada dalam Tuhan. Bagi Karl Friedrich Christian Krause
(1781-1832) sebagai seorang Hegelian dan guru Schopenhauer, mempergunakan kata panenteisme
untuk mendamaikan konsep teisme dengan panteisme. Istilah panenteisme muncul pertama kali sebagai system pemikiran filosofis
dan religius pada tahun 1828. Harry Austryn Wolfson (1887-1974), Profesor
Harvard University seorang ahli spritualis Yunani kuno.
Sementara itu, pandangan panenteisme di abad 20
dan 21. dipengaruhi oleh gagasan Teologi Proses, yang cenderung menolak
transendensi Tuhan, kemahakuasaan dan kemahatahuan. Para Ilmuwan, Kosmolog, filosof dan Teolog di Barat sangat tertarik dengan
panenteisme. Mereka mencapai kesepakatan: “Tuhan tidak lain alam itu
sendiri, setidak-tidaknya ditempatkan sebagai bagian dari itu. tapi hanya
tersedia bagi pengalaman mistik yang terdapat di dalamnya.”
3.
Theisme
Sejujurnya sangat
membingungkan bagi saya ketika subjudul diatas saya menuliskan tentang deisme
dan di subjudul lain saya harus menjelaskan tentang Theisme. Karena
pada dasarny berbicara Theis dan deisme adalah sama. Arti dari
deisme yaitu dari kata deus yang berarti Allah, sedangkan theis sendiri
berasal dari kata theos yang ber arti Allah atau Tuhan.
Namun sedikit saja saya akan singgung tentang
persoalan Theisme dalam perjalanan filsafat. Seiring dengan berkembangnya
peradaban dalam kancah filsafat. Pembicaraan tentang Tuhan pernah menjadi
sentral atau pusat kajian dari filsafat setelah terjadinya pergeseran pemikiran
dari kosmosentris ke theosentris. Mungkin yang membedakan theism
dengan deisme adalah bahwa Theisme lebih bersifat universal sedangkan deisme
lebih memandang bahwa Tuhan tidak pernah mempunyai peran apapun dalam masalah
keduniawian.
4.
Atheisme
Istilah atheisme berasal dari dua kata bahasa
Yunani; awalan “a” yang berarti “tidak”, dan Theos yang berarti Tuhan
atau dewa, atau juga Allah. Di dalam literature filsafat, tanda-tanda pertama
suatu pandangan atheistic bisa ditemukan di dalam pemikiran beberapa filsuf
Pra-Sokratik dan Kaum Sofis. Bagi Kritias, para dewa adalah ciptaan atau
penemuan pihak penguasa untuk menakut-nakuti para penjahat dan pelanggar
ketertiban. Secara prinsip antara teisme dan Deisme sangat berbeda. Teisme
beranggapan bahwa Tuhan adalah transenden sekaligus immanen, sedangkan Deisme
berpandangan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam ini kemudian membiarkannya
secara mekanis berjalan sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan lagi. Atheisme
sebagai pandangan yang menyangkal adanya Allah dapat dibedakan menjadi dua,
yakni atheisme praktis atau atheis romantic dan atheis toeritis.
5.
Naturalisme
Naturalism adalah suatu faham yang
berpanadangan bahwa manusia maju bukan karena kekuatan-kekuatan gaib melainkan
pada kekuatan diri sendiri yang membuktikan diri dalam kemajuan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itulah kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan sebagai
pemecah segala masalahmanusia itu disebut saintisme. Menurut pandangan
ini agama harus digantikan dengan ilmu pengetahuan.
Semangat itu paling jelas dirumuskan oleh
Aguste Comte (1798-1857), bapak posotivisme yang memandang bahwa manusia
berkembang melalui hukum tiga tahap dalam kesempurnaannya. Tahap pertama
adalah tahap teologis, tahap kedua adalah metafisik dan tahap
ketiga adalah menjadi manusia positiv yang rasional. Pada tahap ketiga ini, manuisa dipandang tidak perlu lagi membutuhkan
tuhan.
6.
Agnotisisme
Agnostisisme berasal dari kata Yunani agnostos
yang berarti tidak dikenal, sehingga dapat dikatakan bahwa akal
manusia tidak dapat mengenal atau mengetahui ada dan tidaknya Tuhan. Agnostisisme merupakan paham atau aliran yang berpandangan bahwa mustahil
akal manusia dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Ini karena, akal manusia
bersifat terbatas, sehingga tidak akan mampu mengetahui sesuatu di luar
jangkauan akal manusia termasuk di dalamnya aalah realitas ketuhanan.
D.
PENGERTIAN
STUDI AGAMA
Islam adalah
agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang
bukan hanya mengenai satu segi tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan
manusia, sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil aspek itu adalah Al-Qur’an
dan hadits.
Ajaran yang terpenting dari Islam adalah Tauhid yakni pengakuan tentang adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini juga menjadi dasar kerasulan, wahyu, soal
musyrik dan kafir, hubungan makhluk, surga neraka dan sebagainya yang mana
kesemuanya ini dibahas dalam ilmu tauhid atau dalam istilah baratnya disebut Teologi.
Aspek Teologi merupakan aspek yang paling penting sebagai dasar bagi Islam.
Salah satu
ajaran dasar lain dalam agama Islam adalah bahwa manusia yang tersusun dari
badan dan roh itu berasal dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tuhan adalah
suci dan roh yang datang dari Tuhan juga suci kalau ia menjadi kotor dengan
masuknya ia ke dalam tubuh manusia yang bersifat materi, ia tidak akan dapat
kembali ke tempat asalnya. Oleh karena itu harus
diusahakan supaya roh tetap suci dan manusia menjadi baik.
Secara etimologi studi Islam merupakan terjemahan dari bahasa arab Dirasah
Islamiyah sedangkan dalam kajian Islam di barat di sebut Islamic studies
yang mempunyai arti kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman,
sedangkan pengertian studi Islam secara terminologis adalah kajian secara
sistematis dan terpadu untuk memahami dan menganalisis secara mendalam hal-hal
yang berkaitan dengan agama Islam baik yang menyangkut sumber-sumber ajaran
Islam, pokok ajaran Islam, sejarah Islam maupun realitas pelaksanaanya dalam
kehidupan. Sedangkan menurut Abudin Nata yang dimaksud dengan studi Islam adalah
pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah
dan kehidupan manusia.
Selanjutnya Masdar Hilmy didalam bukunya Studi Islam juga menerangkan bahwa
studi Islam (Islamologi) merupakan sebuah kajian yang mempelajari Islam hanya
sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, Islam dikaji bukan
untuk dipraktikkan dalam tataran normativitas melainkan hanya didorong oleh
tuntutan profesionalisme kajian keislaman. Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa studi Islam merupakan
sebuah kajian keislaman yang dirumuskan berdasarkan sumber ajaran Islam dan
pokok ajaran Islam dalam tataran historisitas-empiris dan dipraktekkan dalam
kehidupan manusia. Maka dari itu konsep dasar studi Islam mengacu pada
pokok-pokok ajaran Islam dalam benteng sumber ajaran Islam.
1.
Pokok-Pokok
Ajaran Islam Sebagai Dasar Studi Islam
a.
Akidah Sebagai
Dasar Studi Islam
Akidah berasal
dari bahasa Arab “aqada-ya’qidu-‘aqdan” yang artinya mengikat. Secara etimologi
akidah bisa diartikan sebagai keimanan atau keyakinan, sedangkan secara
terminologi akidah adalah ikatan hati seseorang kepada sesuatu yang diyakini
dan diimaninya dan ikatan tersebut tidak boleh dilepaskan selama hidupnya.
Dengan demikian
akidah merupakan sisi teoritis yang pertama kali harus diimani atau diyakini
dengan keyakinan yang mantap tanpa keraguan sedikitpun. Terlebih hal ini
dibuktikan dengan banyaknya nash-nash Al-Qur’an maupun hadits mutawatir yang
secara eksplisit menjelaskan persoalan ini (enam rukun iman), disamping adanya
dakwah-dakwah para ulama’ sejak pertama kali ajaran Islam di dakwahkan oleh
Rasulullah. Dan perkara itulah yang
menjadi inti ajaran Allah kepada para rasul sebelumnya.
Dalam hakikat dan maknanya, tauhid atau akidah berdiri diatas tiga kriteria
yang talazum (simbiosis mutualisme), satu sama lain tak terpisahkan.terjadinya
kesenjangan pada salah satu sendi diatas akan mengakibatkan kefatalan pada
bagian yg lain, ketiga kriteria tersebut adalah (1) tauhid rububiyah, (2)
tauhid uluhiyah, dan (3) tauhid hakimiyah.
Tauhid rububiyah adalah melekatnya semua sifat sifat ta’tsir(yang
mengandung unsur dominasi atau pengaruh) pada allah SWT, umpamanya sifat
pencipta, pemberi rizki,pengatur alam, yang menghidupkan, yang mematian,pemberi
petunjuk dan sebagainya. Dari sini dapat diketahui bahwa makna rububiyah
beserta segala konsekwensinya, tidak mungkin dimiliki secara sempurna dan
hakiki oleh siapa pun, selain dari Allah SWT. dariNYA bersumber wujud
(keberadaan) dan segala sifat sifat yang sesuai dengan kedudukannya sebagai
mahluk.
Tauhid uluhiyah adalah bahwa hanya allah semata-mata yang berhak
diperlakukan sebagai tempat khudhu’(tunduk merendah)oleh hambanya dalam
beribadah dan taat. Dengan kata lain, tak ada yang berhak dipatuhi secara
mutlaq selain allah SWT. Semua manusia adalah hamba allah, hamba yang betul
betul berlaku dan berpenampilan sebagai hamba. Bukan hamba yang berlagak
sebagai raja. Manusia tidak berhak meperbudak manusia lainnya dengan alasan
apapun
Tauhid
al-hakimiyah yang mengandung arti hanya allah lah yang berhak membuat
ketentuan,peraturan, dan hukum. Setiap muslim berkeharusan menaati perintah dan
larangan allah.
b.
Syari’ah
Sebagai Dasar Studi Islam
Kata syari’ah berarti jalan tempat keluarnya air untuk minum, kemudian
bangsa Arab pada waktu itu menggunakan kata ini untuk konotasi jalan lurus.
Sehingga ketika dipakai dalam pembahasan hukum maka syari’ah ini mempunyai
makna segala sesuatu yang di syari’atkan Allah kepada hamba-hambanya sebagai
jalan yang lurus untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Selanjutnya Mahmud Shaltout memberikan pengertian yang jelas mengenai
syari’ah yakni ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah atau hasil pemahaman
atas dasar ketentuan tersebut untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik
hubungan dengan Tuhan, dengan manusia lain, dengan alam dan dalam menata
kehidupan yang lain.
Aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan di sebut ibadah, Aspek
hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan
alam dan lingkungan disebut muamalah. Selanjutnya disiplin ilmu yang membahas masalah
syari’ah adalah Fiqh.
c.
Akhlak Sebagai
Dasar Studi Islam
Secara etimologi kata akhlak mempunyai arti budi pekerti, peringai, tingkah
laku atau tabiat. Sedangkan secara terminologi banyak pakar yang mencoba
mendefinisikan akhlak salah satunya adalah Al-Ghazali. Akhlah menurut
Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dengan demikian akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia dan
ia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran
atau pertimbangan lebih dahulu serta tidak memerlukan adanya dorongan dari luar
dirinya.
Dari ketiga pokok ajaran Islam di atas baik itu akidah, syari’ah dan akhlak
merupakan dasar bagi pemikiran studi Islam yang melakukan kajian Ilmiah
terhadap Islam. Pada umumnya Apabila konteks ajaran itu bersifat doktrinal
normative maka ajaran itu dibangun, diramu, dibakukan, dan ditelaah lewat
pendekatan doctrinal-teologis, sedang Apabila konteks ajaran itu bersifat historis-empiris
maka studi Islam mempunyai peran untuk mengkaji konteks ajaran Islam ini
secara paripurna, ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan
social-keagamaan yang bersifat multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan
histories, filosofis, psikologis, sosiologis, cultural maupun antropologis
dengan mempertemukan dengan nilai agama yang bersumber pada wahyu maupun
hadits.
Dengan demikian studi Islam dapat mempertegas dan memperjelas wilayah agama
yang tidak bisa dianalisis dengan kajian empiris yang kebenaraanya bersifat
relatif maupun sebaliknya terus melakukan kajian studi keislaman dalam tataran
historisitas dengan tujuan menjadikan Islam sebagai agama yang menjadi sasaran
studi, baik itu dalam segi doktrinal, sosial dan budaya demi mendapatkan kajian
keislaman yang aktual.
Sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan
tercela.sebagaimana karakteristik keseluruhan ajaran islam, maka sumber islam
adalah alquran dan hadist dan bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat
sebagaimana pada konsep etika dan moral.
2.
Tujuan Studi
Islam
Dalam studi islam, tujuan sangat menentukan. Kajian yang dilakukan oleh
umat Islam berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh kalangan nonmuslim. Dalam
konteks ini, Studi Islam tidak hanya berpihak kepada salah satu konteks
partikular maupun universal. Dengan demikian, tujuan Studi Islam adalah
sebagai berikut:
Pertama, untuk memahami
dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan
dan mengamalkannya secara benar, serta menjadikannya sebagai pengangan dan
pedoman hidup. Tujuan ini membawa konsekuensi bahwa Islam sebagai agama bukan
hanya istrumen baku yang sifatnya simbolistik, tetapi menjadi langkah praksis
dalam kehidupan. Dalam realitas Islam seringkali dijadikan identitas diri,
tetapi pelaksanaan terhadap ajaran Islam tidak dilaksanakan sepenuhnya.
Dalam konteks Indonesia, masyarakat
muslim masih berorientasi pada simbol teologis agama. Pemaknaan kedamaian yang
harus dicerminkan dalam kehidupan prural masih belum sepenuhnya tersosialisasi
secara baik. Konflik social yang mengarah pada agama sering kali terjadi,
karena kurangnya pemahaman terhadap Islam. Dengan studi Islam, diharapkan
tujuan diatas dapat tercapai.
Untuk mencapaian mendapatkan sasaran tujuan diatas dibutuhkan kerangka
pendalaman secara spesifik, diantaranya:
1.
Pengkajian dan
pendalaman terhadap esensi agama dan hubungannya dengan agama lain.
2.
Pengkajian dan
pendalaman terhadap pokok-pokok ajaran Islam.
3.
Pengkajian dan
pendalaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam al Quran dan Hadits sebagai
sumber ajaran Islam menjadi landasan dalam berfikir dan berkiprah.
4. Pengkajian dan pendalaman
terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam.
Kedua, untuk menjadikan
ajaran-ajaran Islam sebagai wacana ilmiah secara transparan yang dapat diterima
oleh berbagai kalangan. Dalam hal ini, seluk beluk agam dan praktek-praktek
keagamaan yang berlaku bagi umat Islam dijadikan dasar ilmu pengetahuan. Karena
itu rasionalosasi terhadap ajaran Islam dikedepankan dengan menghadapkan pada
realitas social budaya. Dengan kerangka ini, dimensi-dimensi Islam tidak hanya
sekedar mendokmatis teologis tetapi ada aspek empiris sosiologis.
3.
Urgensi Dan
Signifikansi Studi Islam
Agama adalah
ibarat manusia untuk mengetahui perihal manusia yang lain dan bisa dilakukan
dengan dua cara : pertama, membaca ide dan pemikiran yang bersangkutan
yang tertuang dalam berbagai karangan, pernyataan dan pekerjaannya, serta kedua,
mempelajari biografi kehidupannya. Untuk mengenal agama, harus dilakukan dengan
cara mempelajari ide-idenya serta membaca biografinya. Menurut Mukti Ali yang
dikutip masdar Hilmy, ide-ide agama terpusat pada kitab sucinya, sedangkan
biografi agama dapat ditemukan melalui sejarah yang dialaminya.
Dalam konteks
Islam, untuk memahami agama bisa dilakukan penelitian atau studi dengan
menggunakan 2 metode. Pertama, mempelajari teks-teks suci Al-Qur’an yang
merupakan himpunan dari ide dan out put ilmiah serta literature yang
dikenal dalam Islam, kedua, mempelajari dinamika histories yang menjadi
perwujudan dari ide-ide Islam, mulai dari permulaaan diturunkannya misi Islam
terutama masa Nabi Muhammad SAW hingga masa akhir ini.
Islam yang
telah mengalami proses dialogis dengan masyarkat tidak bisa dihindarkan
dari munculnya beragam wajah sebagai gambarannya. Keberagaman itu timbul karena
persoalan ruang dan waktu. Perbedaaan ruang dan waktu itu melahirkan perbedaan
pemahaman oleh masyarakat bersangkutan sesuai dengan setting yang mereka
hadapi, baik berupa tuntutan maupun tantangan salah satu contoh Islam yang ada
di Indonesia berbeda dengan di timur tengah baik pada tataran kognitif maupun
praktis sosial.
Atas dasar
permasalahan diatas maka sangat urgen diperolehnya pemahaman Islam secara utuh
dan tidak distortif. Argumentasinya adalah bahwa realitas perbedaan
diatas bila tidak didekati secara tepat akan menimbulkan pemahaman yang pincang
tehadap Islam karena Islam sebagai agama mempunyai dimensi normatif dan histories.
Oleh karena itu dalam kaitan ini, memahmi ide-ide Islam yang ada dalam
Al-Qur’an urgen sekali dilakukan. Hal ini tampak dari argumentasi bahwa ide-ide
dalam kitab suci tersebut merupakan dasar normative dan pondasi dari
ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan kepada manusia. Al-Qur’an memegang landasan
moral bagi gagasan-gagasan dalam praktek seperti ekonomi, politik dan social di
tengah-tengah kehidupan manusia. Meski Al-Qur’an meliputi ide-ide normative
Islam, teks-teksnya di turunkan kepada Nabi Muhammad saw tidak hanya dalam
bentuk idenya semata, melainkan juga disampaikan secara verbal.
Pentingnya
dilakukan studi terhadap ide-ide normatif Islam yang terhimpun dalam Al-Qur’an
ini agar diperoleh pemahaman normative doktrinal yang cukup terhadap sumber dari
teks suci Islam untuk menunjang pemahaman yang kontekstual-histories
sehingga didapatkan pandangan yang relatife utuh terhadap Islam dengan berbagai
atributnya. Hal yang demikian ini untuk menghindari terjadinya proses distorsi
dan reduksi terhadap makna substantif Islam dan sekaligus kesalahan dalam
mengambil kesimpulan tentangnya.
Kesalahan dan
kegagalan para Ilmuwan Barat dalam mamahami masyarakat Muslim bukan terletak
pada “Perspektif tentang kebenaran” yang berbeda, melainkan karena
ketidaktahuan dan ketidak akuratan dalam memahami masyarakat Muslim. Itulah
salah satu diantara penyebab ketidakakuratan adalah kurang diperankanya
teks-teks normative Islam dalam kajian masing-masing sebagai landasan normative
untuk melihat historisitas Islam.
Untuk
dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu
dilakukan studi terhadap dinamika histories yang menjadi perwujudan dari ide-ide
Islam, mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir akhir ini
baik diwilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah wilayah
lain di berbagai belahan dunia.
Untuk
menggambarkan secara numerik dalam kerangka besar urgensi dan
signifikansi studi Islam seperti tersebut diatas, maka dapat diuraikan sebagai
berikut :
a.
Studi Islam diarahkan
sebagai instrument untuk memahami dan mengetahui proses sentrifugal dan
sentripetal dari Islam dan masyarakat. Di dalam jantung tradisi studi tadi,
terdapat al-Qur’an yang dalam proses legalisasinya memiliki kapasitas dan daya
gerak keluar (sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan berbagai asuhan
budaya baru berusaha mendapatkan legalisasi dan legitimasi.
b.
Sebagai
konsekuensi poin pertama, studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan
signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada
tataran realitas-empiric maupun normative doktrinal secara utuh dan tuntas. Hal
demikian agar pemahaman terhadap Islam tidak pincang. Selama ini, beberapa ahli
ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya para orientalis, mendekati Islam
dengan metode Ilmiah saja. Akibatnya, penelitian mereka tidak bisa
menjelaskan secara utuh obyek yang diteliti karena yang mereka hasilkan melalui
penelitian itu hanyalah eksternalitas dari Islam semata.
c.
Studi Islam
begerak dengan mengusung kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang signifikan
terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas dalam rangka
menangkap atau memahami esensi atau substansi dari ajaran yang nota bene sudah
terlembagakan dalam bentuk aliran-aliran pemikiran (schools of thought).
d.
Studi Islam
diselenggarakan untuk menghindari pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak
dapat menunjukkan distingsi antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau
budaya. Pencampuradukan itu pada urutannya akan dapat memunculkan pemahaman
yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolute dan relatif.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Islam adalah agama yang
ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW
sebagai Rasul. Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya
mengenai satu segi tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia, sumber
dari ajaran-ajaran yang mengambil aspek itu adalah Al-Qur’an dan hadits.
Pembagian studi tentang
Islam memang harus dilakukan karena untuk mengetahui informasi tentang kajian
Islam yang harus dijangkau oleh kaum muslimin dengan data dan informasi tentang
Islam yang merupakan lapangan kajian atau studi Islam yang dalam bahasan lain
disebut Islamologi.
Islamologi mempelajari dan
mengkaji Islam hanya sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan.Dalam kaitan ini,
Islam dikaji bukan untuk dipraktikkan dalam tataran normativitas melainkan
hanya didorong oleh tuntutan profesionalisme kajian keislaman.
Dengan demikian, nilai
positif dari kajian studi Islam atau Islamologi ini implikasinya sangat jauh,
meliputi kerangka teoritis maupun praktis sehingga kemudian menjadikan
keterbukaan terhadap kajian keislaman dan mampu melahirkan berbagai
disiplin Ilmu baik itu sosiologi, antropologi, filsafat, sejarah, ilmu bahasa,
ilmu hukum dan sebagainya.
Untuk mendapatkan Daftar Pustaka bisa downlod di bawah ini